Biografi KH Abdul Hamid Chasbullah
Kelahiran
KH Abdul Hamid Chasbullah dilahirkan di Dusun Tambakrejo, tepatnya di Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang. Nama Ayahnya adalah KH Chasbullah Said dan Ibunya adalah Nyai Lathifah. Kiai Hamid merupakan putra kedua dari delapan bersaudara.
Nama-nama keturunan KH Chasbullah Said dan Nyai Lathifah adalah:
- Abdul Wahab
- Abdul Hamid
- Khadijah, istri KH. Bisri Syansuri Denanyar, Jombang.
- Abdurrochim memperistri Nyai Mas Wardliyah Yogyakarta (keponakan KH. Ahmad dahlan pendiri muhammadiyah).
- Fathimah, istri oleh KH. Hasyim Kapas Jombang
- Sholihah
- Zuhriyah
- Aminatur Rokhiyah
Pendidikan
Masa kecil kiai Hamid dihabiskan untuk mondok dari pesantren ke pesantren lainya. Pesantren yang pernah ia tempati diantaranya Pondok Pesantren Kyai Syaikhona Mohammad Kholil Bangkalan Madura Jawa Timur, Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Tebuireng dibawah asuhan KH Hasyim Asy’ari, Pesantren Krapyak Yogyakarta dibawah asuhan KH Munawwir, bahka ia adalah lulusan terbaik ilmu al quran di pesantren Krapyak, dan kemudian ia menuntut ilmu ke Makkah Al Mukarromah.
Peran Sosial
Kiai Abdul Hamid Chasbullah pernah menjadi pengurus NU dan menjabat sebagai wakil katib NU pada periode pertama, yakni tahun 1926. Kiai Hamid juga menjadi pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum Induk sampai Tahun 1956 menggantikan kakaknya yaitu, KH Abdull Wahab Chasbullah yang sedang sibuk mengurus NU dan dunia perpolitikan. Kiai Hamid mengurus pengajian pondok dan sholat lima waktu. Sedangkan perkembangan madrasah ditangani oleh Kiai Abdurrohim. Pembagian tugas ini berjalan dengan harmonis
Kiai Hamid terkenal sebagai sosok kiai yang zuhud, wira’, sederhana, daimul wudlu dan istiqomah dalam berkhidmat di pesantren. Ia juga sangat aktif melakukan pengajian di pondok. Kitab yang sering dikajinya ialah kitab Shahih Bukhori, Shahih Muslim dan tafsir al Quran, dalam bidang Al Quran Mbah Hamid termasuk sosok yang diakui kepakarannya, salah satu peninggalan beliau adalah mushaf al Qur'an 30 juz dengan tulisan tangannya sendiri.
Selain mengurus pengajian di Pondok Tambakberas, Kiai Hamid juga mengurus dan memberi pengajian kepada santri yang berada di Sambong sekaligus menemani istri ketiganya setiap Senin pagi sampai Selasa sore.
Kiai Hamid juga aktif mengayomi masyarakat. Kiai Hamid bahkan mempunyai beberapa rutinan dzikir dan mengaji bersama masyarakat. Salah satu rutinanya adalah mengaji dan istighotsah di desa Kalijaring. Jemaahnya adalah para orang tua dan kiai kampung, kegiatan ini biasa dilaksanakan setiap hari kamis malam jumat di atas jam 22.00 WIB.
Kiai Hamid dikenal sebagai orang yang paling menonjol dalam urusan ilmu metafisika. Tak jarang orang menyebutnya wali, karena seringkali ia menunjukkan kemampuan yang di luar nalar. Bahkan, ketika Kiai Wahab membutuhkan bantuan dari sisi metafisik dan kemampuan supranatural hingga doa-doa, pasti rujukannya adalah adik kandungnya ini. Salah satu kisah unik yang paling terkenal adalah sulitnya untuk mengambil foto dari Kiai Hamid, ada yang mengatakan foto tersebut akan blur dan ada juga yang mengatakan bahwa foto tersebut akan terbakar. Hingga akhirnya keluarga memutuskan untuk melukiskan sosok Kiai Hamid karena tidak adanya foto yang jelas
Kehidupan Pernikahan
Kiai Hamid menikah sebanyak tiga kali, pertama ia menikah dengan Nyai Zaenab, seorang wanita dari Sepanjang Sidoarjo dan dikaruniai seorang anak yang bernama Abdullah yang meninggal ketika masih muda.
Lalu Kiai Hamid menikah dengan Nyai Khodijah Hamid yang berasal dari Desa Cepoko, Kecamatan Berbek, Kabupaten Nganjuk. Di Tambakberas, biasanya orang-orang memanggilnya dengan panggilan Nyai Den (darikata raden) karena Ia mempunyai nasab bangsawan dan kiai. Jalur bangsawannya bisa di lacak dari ayahnya, yakni Kiai Imam Asyraf putra dari Kiai Muhtar yang merupakan keturunan dari Kiai Ali Imron. Kiai Muhtar sendiri diambil menantu oleh bupati pertama berbek (cikal bakal Kabupaten Nganjuk) yang pertama yaitu KRT Sosrokoesoemo I (dikenal dengan kanjeng jimat).
Pernikahan Kiai Hamid dengan Nyai Den dikaruniai lima orang putra putri. Di antaranya, kiai Sholeh, kiai Malik, Gus Hakim, kiai Yahya, dan Nyai Hamiddah (bersuamikan kiai Abdullah bin kiai Abdul Hasan, Pesantren Sukodadi Paiton Purbalingga).
Istri Kiai Hamid Chasbullah yang ketiga yakni Nyai Mukminah dari Sambong, Jombang. Dari isrti ketiganya ini, Kiai Hamid dikaruniai 3 orang putra putri dari pernikahannya dengan Nyai Mukminah Sambong, yaitu Nyai Hasbiyah Mahfud Singosari Malang, Gus Muis, Dan Nyai Sholihah.
Untuk menghidupi keluarganya, Kiai Hamid membuka usaha pembuatan batu bata merah. Bahkan Kiai Hamid dijadikan sebagai rujukan oleh masyakat untuk waktu pembuatan batu bata merah. Hal ini dikarenakan ketika Kiai Hamid membuat dan menjemur batu bata merah, maka dapat dipastikan tidak akan terjadi hujan di Tambakberas. Sehingga Kiai Hamid sendiri dikenal oleh masyarakat sebagai sosok keramat yang mampu mengendalikan cuaca.
Wafat
Kiai Hamid wafat pada tanggal 8 Ramadhan tahun 1375H atau bertepatan 18 Ada tiga versi mengenai cerita wafat dari Kiai Hamid.
Versi pertama menceritakan kejadian wafatnya Kiai Hamid adalah ketika Kiai Hamid menjalankan keistiqomahannya dalam ngaji wetonan. Ketika Kiai Hamid mengaji, ia kemudian mengambil air wudhu dan meneruskan pengajiannya tak lama setelah itu beliau seperti orang tertidur sambil memegang kitab di hadapan santri. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Saat itulah Kiai Hamid menghembuskan nafas terakhirnya.
Ada cerita lain tentang wafatnya Kyai Hamid dari santri khadim Kiai Hamid yang berasal dari Temanggung yang bernama Kang Wan. Ia bercerita pada tanggal 28 Juli 2016 tentang detik-detik menjelang wafatnya Mbah Hamid. Saat itu, Mbah Hamid usai melaksanakan makan sahur. Tiba-tiba badan Mbah Hamid terhuyung. Karena tidak kuat berdiri, beliau kemudian berbaring. Lalu Mbah Hamid meminta agar diambilkan mushaf Al-Qur’an. Setelah Al-Qur’an tersebut berada di tangannya, Mbah Hamid lalu menutupi wajahnya dengan Al-Qur’an tersebut. Tak lama tersebut kemudian Mbah Hamid menghembuskan nafas yang terakhir.
Versi terakhir tentang detik-detik wafatnya Mbah Hamid diceritakan oleh Kiai Ilham Machal (alumni MMA pertama) dari Gadingmangu, Perak, Jombang. Ia bercerita kepada Gus Taufiq Djalil bahwa ketika itu Mbah Hamid hendak mengaji kitab iqna’ namun saat sudah duduk di depan para santri, Mbah Hamid lama tidak segera memulainya, tetapi justru wajahnya ditutupi kitab tersebut agak lama. Ternyata Mbah Hamid wafat. Ini terjadi pada hari kamis 8 Ramadhan 1375 H/ 18 April 1956 M jam 06.30.
Cerita santri senior kiai Hamid yang bernama kang Wan mengatakan bahwa kiai Hamid berpesan agar nanti ketika wafat supaya dimakamkan di makam umum sebelah selatan Pondok Bahrul Ulum. Alasannya adalah agar ketika ada keluarga yang mendoakan kiai Hamid, ahli kubur yang lain juga mendapatkan doa.
Kang Wan menyampaikan pesan dari Kiai Hamid tersebut kepada Mbah Wahab, kakak dari Kiai Hamid ketika menimbakan air untuk memandikan jenazah Kiai Hamid. Ia memberanikan diri untuk memberitahu Kiai Wahab perihal wasiat dari kiai Hamid. Setelah mendengar wasiat tersebut, Kiai Wahab langsung menjawab, “yo wis, nek ngunu tuku wae tanah cidek kono” (ya sudah, kalau begitu beli saja tanah dekat makam selatan ).
Oleh: Izzu Dzaki Nawal dan Muhammad Imam Tajuddin