Home Berita Batsul Masail Kisah Inspiratif Sejarah Ruang Santri Tanya Jawab Tokoh Aswaja Dunia Islam Khutbah Amalan & Doa Ubudiyah Sambutan Pengasuh Makna Lambang Sejarah Pesantren Visi & Misi Pengasuh Struktur Jadwal Kegiatan Mars Bahrul Ulum Denah Opini Pendaftaran Santri Baru Cek Status Brosur Biaya Pendafataran Pengumuman Statistik Santri Login Foto Video Kontak
Tanya Jawab

Mengapa Kerap Terjadi Perbedaan Penetapan Awal Bulan Ramadhan?

Mengapa Kerap Terjadi Perbedaan Penetapan Awal Bulan Ramadhan?
Mengapa Kerap Terjadi Perbedaan Penetapan Awal Bulan Ramadhan?

Bahrul Ulum - Sudah menjadi adat di Indonesia, setiap mendekati bulan Ramadhan maka akan terjadi perselisihan pendapat mengenai perbedaan penetapan awal bulan suci Ramadhan. Berbagai golongan dan organisasi keagamaan memiliki pandangan yang berbeda mengenai penetapan jatuhnya awal bulan Ramadhan. Perbedaan ini kerap terjadi diantara 2 organisasi islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyyah.

Seperti halnya pada tahun 2012 dan 2014. Pada tahun 2012, Muhammadiyah telah menetapkan awal Ramadan jatuh pada 20 Juli 2012. Sedangkan Nahdlatul Ulama menetapkan awal Ramadhan terjadi sehari setelahnya atau 21 Juli 2012. Begitu juga pada tahun 2014. Muhammadiyyah dan NU kembali berbeda pendapat mengenai awal Ramadhan. Muhammadiyyah menetapkan Ramadhan jatuh pada tanggal 28 Juni 2014, sedangkan NU menetapkan Ramadhan jatuh sehari setelahnya, yakni 29 Juni 2014. Selain 2 tahun tersebut, masih banyak juga perbedaan penetapan awal Ramadhan disetiap tahunnya di antara masyarakat Indonesia.

Perbedaan ini di sebabkan karena perbedaan cara dan perbedaan tempat dalam meneliti penetapan awal bulan tersebut. Faktor utama penyebab perbedaan awal bulan Ramadhan adalah dikarenakan perbedaan metode dalam menetapkan awal bulan suci. Secara umum, metode penentuan awal bulan ada 3 jenis macam, yakni rukyah al-hilal, Hisab dan istikmal. Semua metode ini berdasarkan satu hadits yang sama, yakni:

حدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ 

Artinya: Berpuasalah kalian pada saat kalian telah melihatnya (hilal bulan Ramadhan), dan berbukalah kalian ketika telah melihatnya (hilal bulan Syawal). Apabila (langit) tertutup mendung bagi kalian maka genapkanlah bulan Sya'ban menjadi 30 hari. (HR. Bukhari: 1776 dan Imam Muslim 5/354)

Berdasarkan hadits di atas, terdapat 2 metode yang bersumber dari makna lafadz hadits (صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ). Metode yang pertama memerintahkan kita untuk berpuasa dikarenakan melihat hilal secara fisik. Baik dengan mata telanjang atau dengan alat bantu seperti teleskop dan sebagainya. Ini adalah metode penetapan bulan Ramadhan yang telah dilakukan sejak zaman Nabi Muhammad SAW atau lebih dikenal dengan metode rukyah al-hilal.

Metode yang kedua adalah hisab. Metode ini menggunaakan dalil yang sama, yakni lafadz hadits (صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ). Akan tetapi sebagian kelompok berpandangan bahwa makna hadits ini tidak hanya sebatas melihat hilal secara fisik dengan mata atau alat bantu teleskop. Lafadz tersebut juga dapat dimaknai kebolehan menggunakan metode rukyah al-ilmiyyah atau yang lebih dikenal dengan metode hisab.

Dalil penggunaan hisab ini juga diperkuat oleh surat Ar-Rahman ayat 5:

اَلشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ

”Matahari dan bulan (beredar) sesuai dengan perhitungan.”

Metode yang ketiga adalah dengan metode istikmal. Metode ini di dasarkan pada lafadz (فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ). Metode ini dilakukan dengan menyempurnakan hitungan tanggal bulan sya’ban sampai 30 hari. Metode ini berlaku ketika hilal memang tidak dapat dilihat, seperti ketika terjadi mendung pada tanggal 29 Ramadhan, sehingga tidak dapat melihat hilal hari ke 30.

Perbedaan yang sering terjadi adalah diantara penggunaan metode rukyat dan hisab. Perbedaan pendapat ini di karenakan sering terjadinnya pengakuan terlihatnya hilal diluar penetapan tanggal hisab. Selain itu, sering terjadi perbedaan pendapat di mayarakat mengenai awal ramadhan karena rukyat itu sendiri. Sering terjadi desas -desus antar golongan mengenai tampaknya suatu hilal sebelum ditetapkan oleh pihak yang berwenang, yakni pemerintah. Hal ini juga menyebabkan kebingungan awal bulan ramadhan di antara masyarakat itu sendiri.

Mengenai perbedaan pendapat dikalangan masyarakat ini, para ulama’ telah mengkaji dan berusaha mencari cara pemerataan awal bulan hijriyyah termasuk juga Ramadhan di dalam suatu negara agar tidak terjadi perbedaan awal puasa dan perbedaan pelaksanaan hari raya. Metode ini disebutkan dengan rukyat global.

Rukyat Global adalah kriteria penentuan awal bulan hijriyah menganut prinsip: Jika satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa meski yang lain mungkin belum melihatnya. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Zainuddin Ahmad bin Abdul ‘Aziz bin Zainuddin al-Malibari dalam kitabnya Fathul Mu’in menjelaskan,

وبثبوت رؤية هلال رمضان عند القاضي بشهادة عدل بين يديه كما مر ومع قوله ثبت عندي: يجب الصوم على جميع أهل البلد المرئي فيه

”Ketika ada seseorang bersaksi dihadapan hakim bahwa ia melihat hilal, lalu hakim menetapkannya maka kewajiban memulai puasa diberlakukan secara umum bagi seluruh penduduk negara yang terlihat hilalnya.”

Dari keterangan ini dapat disimpulkan bahwa ketika pemerintah menetapkan suatu keputusan pengenai hilal setelah ada orang yang bersaksi bahwa ia telah melihat hilal, maka keputusan pemerintah mengenai penetapan awal bulan hijriyyah ini dapat menjadi pendapat yang sah dan dapat diikuti oleh seluruh penduduk suatu negara. Keputusan pemerintah mengenai awal masuknya Ramadhan juga dapat menghilangkan perselisihan mengenai perbedaan pendapat tentang awal masuknya bulan Ramadhan dikalangan orang awam.

Hal ini sebagaimana yang diterangkan oleh imam Syihabuddin al-Romli dalam kitabnya Nihayah al-Muhtaj yang menyebutkan,

أَنَّ ‌حُكْمَ ‌الْحَاكِمِ ‌يَرْفَعُ ‌الْخِلَافَ

“Sesungguhnya hukum dari hakim dapat menghilangkan perbedaan pendapat.”

Dalam hal ini, pemerintah yang memiliki suatu kewenangan dalam memutuskan suatu perkara dapat dikategorikan sebagai hakim dalam perkara tersebut. Sebagaimana keputusan pemerintah mengenai sidang isbat penentuan awal bulan Ramadhan ataupun awal bulan Syawal, maka keputusan sidang isbat tersebut dapat dikategorikan sebagi (حُكْمَ ‌الْحَاكِمِ) karena hasil dari sidang isbat berasal dari kelompok orang yang memiliki kewenangan dalam menetapkan hal tersebut. Maka keputusan dari sidang isbat yang ditetapkan pemerintah sah hukumnya untuk diikuti oleh penduduk negara tersebut.

والله أعلم بالصواب

Oleh : Abdullah Machbub