Home Berita Batsul Masail Kisah Inspiratif Sejarah Ruang Santri Tanya Jawab Tokoh Aswaja Dunia Islam Khutbah Amalan & Doa Ubudiyah Sambutan Pengasuh Makna Lambang Sejarah Pesantren Visi & Misi Pengasuh Struktur Jadwal Kegiatan Mars Bahrul Ulum Denah Opini Pendaftaran Santri Baru Cek Status Brosur Biaya Pendafataran Pengumuman Statistik Santri Login Foto Video Kontak
Ruang Santri

Santri dalam Menyambut Satu Abad Nahdlatul Ulama

Santri dalam Menyambut Satu Abad Nahdlatul Ulama
Santri dalam Menyambut Satu Abad Nahdlatul Ulama

Sebagai manusia yang bukan hanya di-Islam-kan, tetapi juga di-NU-kan sejak lahir, bahkan sejak dalam kandungan, jiwa-jiwa Nahdlatul Ulama dalam diri saya lumayan terbangun. Walaupun ketika ditanya tentang “bagaimana NU lahir?” atau “NU itu apa, sih?” sedikit mikir -mikir dan iling-iling. Kepercayaan dan keyakinan bahwa saya adalah Nahdliyin—sebutan bagi “anggota” organisasi islam terbesar dunia—ini masih sangat kuat saya pegang. Tidak tahu mengapa. Karena seperti yang telah disampaikan di awal, saya telah NU “paksa” sejak dalam kandungan.

Mengutip tulisan Fachry Ali, salah satu pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) Indonesia yang dimuat Kompas.id (12/2/2022), Nahdliyin adalah golongan kaum muslimin Indonesia yang membagi budaya keagamaan yang sama dan yang secara organisasi terlembagakan dalam bentuk Nahdlatul Ulama. Kelompok inilah yang menurut pengertian Zamakhsyari Dhofier dalam Tradisi Pesantren (1982), disebut sebagai “kaum santri”. Jadi, yang dimaksud kaum Nahdliyin, tulis Fachry Ali, adalah “kaum santri” yang secara langsung direproduksikan lembaga pendidikan pesantren.

Bermodal pengertian di atas, saya mengambil konklusi sederhana: kaum Nahdliyin adalah orang-orang yang “dilahirkan” oleh pendidikan pesantren atau lebih sederhana lagi, orang-orang yang berpegang pada tradisi, budaya, dan karakter pesantren yang berbasis Nahdlatul Ulama. Umumnya, siapapun yang hidup dan lahir dari rahim pendidikan pesantren disebut Nahdliyin. Spesifiknya, para santri juga bagian dari brigade Nahdliyin.

* * *

Dalam detik-detik menuju Satu Abadnya, Nahdlatul Ulama sibuk menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) forum R20 atau Religion of Twenty, salah satu kegiatan paralel dari G20 atau Group of Twenty November awal tahun 2022 kemarin di Nusa Dua, Bali. Sederhananya, forum R20 adalah perkumpulan pemuka agama-agama dari 20 negara dengan fokus utama yaitu upaya untuk menjadikan agama sebagai solusi permasalahan global, bukan justru malah sebagai sumber masalah.

Namun, jika kalian penasaran dengan rincian kegiatan dan topik-topik lain yang dibahas dalam kegiatan ini, kalian bisa mengetik di pencarian Google dengan keyword “R20”. Silahkan saja klik website mana yang ingin kalian baca. Mudah dan simpel. Sebab, saya tidak akan membahas R20 sepenuh dan selengkapnya di sini ya, karena saya merasa belum berkompeten untuk membahas forum ini secara lengkap dan saya juga bukan bagian dari panitia kegiatan tersebut, Hehe. Yang saya akan bahas adalah apa yang kita bisa lakukan untuk ikut berpartisipasi menyambut Satu Abad Nahdlatul Ulama.

              Disebutkan dalam al-Quran bahwa agama Islam diturunkan sebagai rahmatan lil-‘alamin bukan hanya bagi umat Islam sendiri apalagi bagi kelompok-kelompok tertentu, tetapi rahmat bagi semesta alam. Jadi, semua makhluk—khususnya manusia—yang hidup di dunia harusnya juga merasakan rahmat yang lahir dari agama Islam. Ini adalah peran agama Islam untuk semesta. Sebagaimana agama, pesantren juga memiliki peran yang sama seperti agama, tetapi dengan ruang lingkup yang mungkin lebih kecil. Salah satunya, yaitu masyarakat sekitar kita.

Disadari atau tidak, kita para santri nahdliyyin memiliki semacam “beban moral” yang harus ditunaikan sebagai sebuah pengabdian untuk agama dan masyarakat. Banyak sekali persoalan-persoalan dalam masyarakat yang dirasa hanya santri yang dapat menyelesaikannya. Sebab, masyarakat secara umum sudah kadung memandang santri lulusan pesantren sebagai “manusia suci yang baru selesai bertapa di tempat suci”. Ini lumrah dirasakan oleh alumni-alumni jebolan pesantren. Padahal, sebenarnya, dalam perspektif saya, pesantren tidak lebih dari wasilah (perantara). Salah satunya, perantara untuk mempermudah seseorang memahami ilmu-ilmu, khususnya ilmu agama.

Sebagai perantara, orang-orang yang mengenyam pendidikan di pesantren tentunya datang dari berbagai latar belakang. Ada yang nakal, baik, pendiam, pencilakan, dan lain sebagainya. Tidak semuanya baik. Maka tak ayal, salah satu kebiasaan buruk yang sangat erat dengan pesantren, yaitu ghosob kasusnya, melambung tinggi. Karena seperti yang telah disampaikan, pesantren adalah perantara. Tempat berproses. Namun, bukan berarti saya menormalisasi perilaku buruk yang lahir dari para santri. Sebab, tidak ada yang boleh setuju dengan perilaku-perilaku buruk apapun alasannya.

Dewasa ini, dalam pikiran saya terbesit satu dari sekian banyak hal yang penting dilakukan oleh santri sebagai bentuk pengabdian kepada agama dan masyarakat, yaitu mengikuti perkembangan zaman dalam aspek apapun. Diantaranya, aspek dalam bermedia sosial. Pada zaman yang perkembangan teknologinya telah maju seperti sekarang ini, manusia mana—lebih-lebih seumuran remaja ke atas—yang tidak memiliki gawai dan media sosial? Bahkan ada beberapa anak kecil seumuran TK di luar sana yang hari-harinya diisi scroll-scroll beranda TikTok, Instagram, atau Youtube. Dulu, seumuran segitu, saya masih sering dipukul Ibu sebab ketahuan mandi di sungai bersama kawan-kawan. Ya, zaman sudah berbeda.

Berdasarkan laporan We Are Social, platform yang menyajikan tren internet dan media sosial, pengguna aktif media sosial di Indonesia selalu naik tiap tahunnya. Pada Januari 2022, jumlah pengguna aktif media sosial mencapai angka 191 Juta dari total populasi 277 Juta orang. Jumlah ini meningkat 12,35% dibandingkan pada tahun sebelumnya yaitu sebanyak 170 Juta. Angka 191 Juta bila dihitung dalam persentase mencapai sekitar 68% dari jumlah populasi orang di Indonesia. Ini masih di Indonesia saja, lho, belum lagi data dari seluruh dunia. Wah, saya yakin penggunanya lebih banyak lagi. Kalau dalam bahasa jawanya itu penggunanya sak ambragadag.

Berangkat dari data tersebut, bisa kita simpulkan (sementara) bahwa media sosial adalah kehidupan kedua bagi sebagian besar masyarakat kita pada abad ini. Satu orang yang tinggal di Kabupaten Jombang, bisa dengan mudahnya mengetahui apa yang sedang terjadi di Ekuador sambil memasak, ngobrol, atau malah sambil rebahan santai. Suguhan berita-berita berlalu-lalang setiap detik, mudah sekali disebar dan diterima. Apapun bisa diakses hanya dengan satu kali klik saja. Media sosial menjadi ladang paling potensial bagi siapapun untuk menyampaikan apapun yang mereka mau. Nah, jika santri dengan ilmu-ilmu yang didapat di pesantren tidak dapat memanfaatkan media sosial dengan baik, eksistensi dan esensi keilmuan pesantren akan kalah dengan apa yang sebenarnya tidak penting-penting amat untuk diterima.

Santri harusnya bisa menjadi pelaku penyebaran ilmu yang memberikan kemanfaatan bagi sesama lewat media sosial agar sesuai dengan norma-norma yang telah diajarkan oleh agama di dunia pesantren. Tidak hanya berhenti di situ, penyebaran ilmu dan kemanfaatan ini juga harus dikemas dengan menarik, kreatif, dan inovatif agar bisa di-notice atau dilirik oleh orang-orang. Sebab, penggunaan cara lebih penting daripada isi. Sepenting apapun isi pidato, misalnya, jika disampaikan dengan serampangan dan tidak menarik, isi pidato tersebut tidak akan sampai kepada pendengar. Mungkin kita bisa mengemasnya dengan komedi, misal. Karena—menurut saya—komedi adalah salah satu “jembatan” paling mudah untuk menyambung komunikasi satu dengan yang lain.

 

Contoh dari golongan “santri senior” yang menggunakan media sosial sebagai sarana dakwah dan membalutnya denga komedi adalah Habib Husein Ja’far Al-Hadar.Ia benar-benar all in atau totalitas dalam menyebar ilmu lewat media sosial dengan sesuatu yang mudah diterima oleh semua kalangan, lebih-lebih kalangan pemuda. Habib Ja’far menjadikan barikade muda zaman ini sebagai target dakwah. Pengemasan dakwah Habib Ja’far yang menggunakan komedi ini, begitu khas dan tepat sasaran, serta menjadi nilai tambah tersendiri.

Tentu saja yang dilakukan Habib Ja’far ini tidak awur-awuran atau sembarangan. Dalam dakwahnya itu, Habib Ja’far mengaplikasikan teori kebijakan, yaitu kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Kebenaran tidak serta merta dilakukan begitu saja, tetapi harus dilakukan dengan baik. Kemudian, keindahan perlu diikutsertakan untuk menyempurnakan dua aspek tadi.

Pada zaman Nabi, Bilal bin Rabah diberi tugas menjadi muadzin Nabi. Jikalau dipikir-pikir, banyak lho, sahabat-sahabat yang lebih dulu memeluk agama islam daripada Bilal. Tetapi, kenapa Nabi lebih memilih Bilal sebagai muadzin? Jawabannya karena suara merdu yang dimiliki Bilal. Bilal memiliki kemampuan untuk menyempurnakan teori kebijakan. Adzan adalah kebenaran yang harus dilakukan dengan baik, yaitu dilantunkan ketika sudah waktunya. Lalu, juga harus disempurnakan dengan lantunan yang merdu. Yang harus digaris bawahi adalah merdu. Karena, benar dan baik saja belum cukup, tetapi harus mengikutsertakan indah yang dalam konteks adszan, merdu adalah aspek keindahan.

***

Melestarikan budaya-budaya peninggalan para ulama yang baik serta mengambil perubahan-perubahan baru yang lebih baik adalah jargon kita. Menjadikan media sosial sebagai sarana dakwah adalah salah satu implementasi dari jargon tersebut. Kita tahu isi dari media sosial tidak semuanya kebaikan. Maka tugas kita sebagai santri millennial nahdliyin untuk menyebar kebaikan-kebaikan itu. Dimulai dari menyebar video dakwah lewat media sosial misalnya.

Selanjutnya bisa tingkatkan lagi level “sistem” penyebaran kita dari yang hanya menjadi penyebar, menjadi pelaku dan pengisi media dakwah. Seperti menulis artikel tentang kemudahan dan keindahan islam, membuat video yang mengandung pesan-pesan tentang perdamaian, atau menyebarkan ilmu-ilmu agama yang tidak diajarkan di luar pesantren. Kita lakukan ini dengan santai saja step by step, perlahan-lahan. Tidak usah ngotot dan menggebu-gebu. Ingat, aspek keindahan itu penting.

Matematika Allah itu berbeda dengan matematika manusia. Satu kebaikan akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan. Jadi tidak ada alasan bagi kita, santri, untuk gagap teknologi dan tidak ikut serta dalam penyebaran kebaikan di perkembangan zaman ini. Maka dari itu, menurut saya—sekali lagi—menyebar kebaikan dan kemanfaatan lewat media sosial adalah salah satu wujud pengabdian kita kepada masyarakat, wa bil-khusus, masyarakat dunia maya. Selain itu, juga bisa kita niatkan untuk turut memeriahkan Satu Abad Nahdlatul Ulama. Bukan begitu?

Menafikan keberadaan media sosial dalam kehidupan saat ini adalah buah dari sifat keras kepala dan keras hati yang harus lekas-lekas dihilangkan. Memang benar, tidak menyebar keburukan juga bentuk dari kebaikan. Tetapi, ya, apa tidak sungkan, negara sudah mengistimewakan kita dengan menjadikan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional, sedang kita yang diistimewakan malah tidak memberikan kontribusi apapun bagi negara, Nahdlatul Ulama, dan masyarakat dunia nyata maupun dunia maya? Saya, sih, sungkan. Kalo kalian, bagaimana?

Oleh: Mohammad Nashihul Khair