Home Berita Batsul Masail Kisah Inspiratif Sejarah Ruang Santri Tanya Jawab Tokoh Aswaja Dunia Islam Khutbah Amalan & Doa Ubudiyah Sambutan Pengasuh Makna Lambang Sejarah Pesantren Visi & Misi Pengasuh Struktur Jadwal Kegiatan Mars Bahrul Ulum Denah Opini Pendaftaran Santri Baru Cek Status Brosur Biaya Pendafataran Pengumuman Statistik Santri Login Foto Video Kontak
Tokoh

Mengenal Siapa Itu Kiai Abdus Salam?

foto Makam pendiri Ponpes. Bahrul 'Ulum, Mbah Sechah
foto Makam pendiri Ponpes. Bahrul 'Ulum, Mbah Sechah

Bahrululum.id- Para pembaca mungkin sudah tak asing dengan Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum, atau orang-orang biasanya sering menyebutnya Pondok Tambakberas. Tempat pengajaran ilmu agama islam tersebut telah berdiri jauh sebelum kemerdekaan, kira-kira tahun 1825 M, tokoh pendirinya bernama KH Abdus Salam, atau biasa dipanggil Mbah Shoichah/Mbah Sechah. Pada rubrik ini, penulis akan mengenalkan kepada para pembaca tentang sosok, kiprah, dan perjuangannya! 

 

Lahir di kota Tuban

Diceritakan pada buku Tambakberas: Menelisik Sejarah Memetik Uswah, Mbah Sechah adalah putra dari Mbah Jabbar, Tuban. Dalam dokumen silsilah dari daerah Jojogan, Tuban, dan dari Padangan, Bojonegoro dijelaskan bahwa tidak ada catatan yang menyatakan bahwa Mbah Sechah adalah putra Mbah Jabbar. Tidak adanya catatan dari jalur Jojogan dan Pandangan ini bisa saja disebabkan karena Mbah Jabbar sendiri mempunyai empat istri, bisa saja yang tercatat adalah hanya keturunan dari satu atau dua istri Mbah Jabbar saja.

 

Bukti bahwa Mbah Sechah adalah putra Mbah Jabbar ini diperkuat dari wawancara KH Ainur Rofiq al-Amin dan KH Kholid Mas’ud dengan KH Anshori bin Sechah (Cicit dari Mbah Sechah) yang menuturkan bahwa Kiai Sholichin (Petengan) sering bercerita  bahwa Mbah Sechah adalah keturunan Mbah Jabbar, Jojogan, Tuban.

 

Demikian juga kata Kiai Anshori Sechah bahwa Kiai Shodiq, Genukwatu, Jombang (Kiai Waskito) pernah ziaroh ke makam Mbah Jabbar. Dalam komunikasi spiritual, Mbah Jabbar menyampaikan

Aku nduwe keturunan nang tambakberas, jenenge muhammad’’(saya punya keturunan yang tinggal di tambakberas, Namanya Muhammad) tutur Mbah Jabbar.

Setelah itu Kiai Shodiq dengan didampingi Pak Khotib Irsyad (bapaknya Asharun Nur) mencari, dan mendatangi rumah Mbah Mad (Muhammad bin Abu Syakur bin Sechah/Shoichah). Lalu menyampaikan peristiwa yang dialami saat ziaroh di makam Mbah Jabbar. Kiai Anshori Sechah saat itu juga ikut mendengarkan apa yang disampaikan oleh Kiai Shodiq.

 

Pribadi yang ahli riyadlah

Mbah Sechah dalam kesehariannya lebih banyak melakukan tirakat atau riyadlah. Hal tersebut dilakuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan juga untuk menggembleng jiwa agar menjadi tangguh. Hal tersebut dibuktikan ketika waktu malam hari Mbah Sechah sering jarang tidur, lebih memilih untuk pergi ke sungai lalu naik ke atas pohon. Tujuannya adalah jika beliau mengantuk , langsung jatuh ke sungai. Dengan cara  tersebut, tentu Mbah Sechah harus lebih waspada agar tidak mengantuk saat uzlah (menyendiri).

 

Mendirikan Pondok Pesantren Tambakberas

 

Tahun 1825 tercatat sebagai  titk awal sejarah berdirinya Ponpes. Tambakberas. Pada tahun itu, Mbah Sechah berkunjung ke Kota Jombang, Jawa Timur. Kunjungan tersebut terarah pada dua desa, yakni pertama Desa Wonomerto (kini di Kecamatan Wonosalam), yang kedua Dusun Gedang, kini di Desa Tambakrejo, kecamatan Jombang. Perlu diketahui bahwa Mbah Sechah juga adalah salah satu panglima pasukan Diponegoro.

 

Mbah sechah mengunjungi Jombang dengan tiga tujuan. Pertama, napak tilas dan berziarah ke makam leluhurnya yaitu Pangeran Benowo, beberapa situs yang dinyatakan sebagai Makam Pangeran Benowo, raja pajang ketiga dan terakhir. Salah satunya berada di desa Wonomerto, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang.

 

Tujuan kedua Mbah Sechah mendatangi jombang, adalah untuk mencari lokasi yang tepat untuk berdakwah. Setelah menemukan makam  Pangeran Benowo di Desa Wonomerto, kecamatan Wonosalam, Mbah Sechah melanjutkan perjalanan ke arah utara dari Desa Wonomerto, sekitar 35 kilometer menuju kampung Gedhang, dekat kota jombang, yang kelak menjadi lokasi pondok pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas.Tujuan ketiga, beliau melakukan survei lokasi untuk mencari tempat strategis terkait perang jawa.

 

Setelah pangeran Diponegoro ditangkap belanda karena siasat licik, pada tahun 1830, Mbah Sechah lebih fokus menjadikan alas (hutan) gedang sebagai basis pendidikan agama para santri, dengan tetap disisipi nilai-nilai perlawanan terhadap penjajah. Sama seperti Pasukan Diponegoro yang lain, Mbah Sechah juga menanam pohon sawo kembar sebagai tanda rahasia dari pasukan Diponegoro.

 

Akhirnya alas Gedhang berubah menjadi  sebuah perkampungan sekaligus padepokan atau pondok, yang kemudian dikenal dengan sebutan pondok “selawe” karena hanya 25 santri yang menetap di padepokan tersebut. Ada juga yang menyebut pondok ”telu” karena padepokannya hanya memiliki tiga gothakan (kamar). Kelak, setelah berlalunya zaman, pondok tersebut berkembang hingga saat ini.

Asal muasal nama “Sechah”

Saat pondok yang diasuh beliau kian hari bertambah pesat perkembangannya, dan semakin terkenal, bahkan kabar tersebut sampai terdengar sampai ke telinga Residen Belanda. Tidak diketahui apa maksud dan keperluannya, Residen Belanda kemudian mengutus kurir untuk menemui Kiai Abdus Salam, si kurir pun berangkat dengan kereta  kuda (bendi) menuju Deasa Gedang. Sesampainya di halaman ndalem beliau, dengan nada congkak dan angkuh si kurir berteriak-teriak keras memanggil kiai Abdus Salam. Beliau pun keluar dengan membalas teriakan “sopo awakmu…?”(Siapa kamu…?) bentakan suara beliau layaknya geledhek (petir). Si kurir, dan kudanya langsung pingsan dan meninggal dengan bendinya hancur berantakan. Kabar itu menyebar dan sejak itu Kiai Abdus Salam lebih dikenal dengan sebutan Kiai Soichah atau  (bahasa Arab, yang berarti bentakan atau gelegar).

 

Oleh: Achmad Azam Muzakki

Editor: Akhmad Zamzami