Doa untuk Indonesia yang Urung Menjadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20
Bahrul Ulum - Sudah umum kita ketahui bersama, pesantren adalah tempat bagi orang-orang yang ingin "memoles" akhlaq dan menimba ilmu, khususnya ilmu agama. Namun perlu diketahui juga, kehidupan di pesantren tidak melulu perihal sesuatu yang berkaitan dengan agama, tetapi juga berkaitan dengan hal-hal lain. Seperti, ekstrakulikuler layaknya mengasah dan melatih skill di bidang olahraga. Salah satunya adalah cabor sepak bola.
Hari selasa dan jumat adalah tanggal merah dan hari sepak bola-nya santri. Kami berangkat ke lapangan terdekat dari pesantren untuk bermain sepak bola. Lapangan yang prosentasenya 1:1000 bila dibandingkan dengan gelora Bung Karno itu, justru bisa dijadikan tempat bertanding bagi 8 tim: apa itu kesebelasan? Jalan di depan asrama, kiranya cukup untuk dilewati oleh truk, juga dijadikan tempat bermain dua tim dengan banding pemain 4v4: apa itu gawang? Setelah bacaan-bacaan Al-Quran dari pengeras suara masjid berbunyi, barulah kami berhenti, lalu bergegas mandi untuk kemudian bersiap-siap ke masjid untuk jamaah sholat maghrib: apa itu peluit wasit?
Maka tak ayal, dari sekian banyak pesepak bola terkenal yang karirnya melejit di timnas Indonesia, ada sederet nama pemain jebolan pesantren. Di antaranya adalah Evan Dimas Darmono, gelandang Arema; Asnawi Mangkualam, bek klub sepak bola Korsel, Jeonnam Dragons FC; Nadeo Arga Winata, kiper Bali United yang beberapa waktu lalu membuat beberapa perempuan menyukai sepak bola sebab ketampanan penjaga gawang timnas itu. Suka sepak bola, kok, mandang fisik. Saya gimana dong?
Nah, menurut saya, sebagai santri madridista sejati, sepakbola adalah kehidupan bagi kebanyakan orang di dunia, tetapi dengan time line yang berbeda. Sebab, dengan sepak bola, orang-orang bisa bersatu. Celakanya, karena sepak bola juga, orang-orang bisa saling melukai saudaranya sambil menutup mata.
***
Pada tahun 2019 silam, Indonesia diamanahi menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20. Turnamen ini, harusnya digelar di tahun 2021, tetapi mundur dua tahun sebab pandemi. Akhirnya, diresmikan bahwasanya turnamen dilaksanakan pada Mei-Juni 2023 mendatang. Segala hal telah dipersiapkan oleh pemerintah. Begitu pula Timnas Indonesia U-20, latihan telah dilaksanakan untuk tampil di turnamen geden ini.
Namun nihil, dalam situsnya (22/3/2022), FIFA mengonfirmasi bahwa setelah pertemuan Presiden FIFA, Gianni Infantino dan Ketua PSSI, Erick Thohir di Doha, Qatar, status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 resmi dicabut. Tetapi tanggal perhelatan tidak berubah dan negara tuan rumah pengganti Indonesia akan diumumkan FIFA secepat mungkin.
Kita tahu, dalam melihat keburukan, yang harus dibenci adalah keburukan itu sendiri, bukan pelaku dari keburukan tersebut. Meski ini sulit, setidaknya kita tahu.
Saya pribadi, tidak menaruh prasangka buruk sama sekali terhadap Timnas Israel yang (harusnya) akan berlaga di Indonesia. Sebab, saya yakin, Timnas Israel serta pelatih dan manajer, berangkat dengan niat murni untuk berpartisipasi di Piala Dunia U-20 ini sebagaimana Timnas negara-negara lain yang juga akan bertanding.
Sekarang, setelah status tuan rumah ini dicabut, apa yang bisa kita lakukan? Pertama, harus ikhlas tentunya.
Sebelum keputusan FIFA, Jokowi buka suara soal itu. "Jangan pernah mencampuradukkan urusan politik dan sepak bola," ucapnya. Betul sekali. Tetapi, Mbak Najwa Shihab bilang, sejak kapan sepak bola tidak dipolitisasi? Sepak bola selalu berkelindan dengan politik, di berbagai belahan dunia, di berbagai zaman dan masa. Lebih jauh, sepak bola dijadikan alat untuk melawan kolonialisme. Itu yang terjadi di Indonesia. Di saat rasisme dan diskriminasi terjadi terhadap kaum Bumiputera, sepak bola menjadi pendobrak. PSSI pun, didirikan oleh Soeratin Sosrosoegondo bertujuan salah satunya adalah membangkitkan rasa nasionalisme dan menumbuhkan semangat perjuangan dalam mengambil kemerdekaan.
Terlepas dari hiruk-pikuk yang mengelilingi persepakbolaan Indonesia yang sering membuat kecewa dan lelah, jujur, saya lebih kecewa atas dicabutnya status tuan rumah Indonesia yang berbuntut pada tidak berlaganya Indonesia di Piala Dunia U-20. Tentu saja kecewa dengan faktor yang mendorong keputusan FIFA ini. Ini mimpi orang banyak dalam beberapa tahun terakhir, bahkan mungkin mimpi orang satu Indonesia. Belum tentu anak-cucu kita bisa merasakan euforia sebagai pendukung Timnas yang berlaga di Piala Dunia sekaligus sebagai host atau tuan rumah. Bagaimana dengan para pemain Timnas? Bagaimana dengan Coach Shin Tae Yong? Pak Erick Thohir?
Yang kedua, kita bisa ambil jalan tengah dan main aman saja. Saya, kalian, atau siapapun yang suka sepak bola tentu turut kecewa dan prihatin dengan kabar ini. Semua keputusan final semestinya sudah berlandas pada pertimbangan-pertimbangan. Jadi, baiknya mari sama-sama berdoa saja:
"Ya Allah, jika memang dicabutnya status Indonesia sebagai tuan rumah U-20 Piala Dunia adalah jalan terbaik, maka ikhlaskanlah hati para pemain Timnas U-20 yang sejak 3 tahun terakhir telah berlatih serius, sehari tiga sampai empat kali latihan; ikhlaskan Coach Shin Tae Yong; ikhlaskanlah Pak Erick Thohir yang sudah ikhtiar berangkat ke Doha untuk bernegosiasi dengan FIFA; ikhlaskanlah orang-orang Indonesia yang telah mendaftar sebagai relawan Piala Dunia U-20 yang pastinya tidak sabar bisa ikut serta dalam perhelatan ini; ikhlaskanlah orang-orang sudah berancang-ancang untuk menjual barang dagangannya di sekitar stadion pertandingan untuk menghidupi keluarganya; ikhlaskanlah hati para netizen yang tentunya sudah capek mengomentari keputusan-keputusan 'agak aneh' dari para atasan; ikhlaskanlah hati Ketua Panitia perhelatan ini; ikhlaskanlah, Ya Allah. Sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baiknya dzat yang Maha Membolak-balikkan hati. Aamiin."
Setelah itu, mari kita kirimkan surat al-Fatihah dikhususkan untuk para dan calon pemain Timnas beserta manajer, jajaran PSSI, dan sepak bola Indonesia bisa lebih baik dan lebih on fire lagi dalam meningkatkan kualitas sepak bola Indonesia, lalu lolos kualifikasi Piala Dunia pada beberapa tahun mendatang. al-Fatihah ...
Oleh: Mohammad Nashihul Khair