Home Berita Batsul Masail Kisah Inspiratif Sejarah Ruang Santri Tanya Jawab Tokoh Aswaja Dunia Islam Khutbah Amalan & Doa Ubudiyah Sambutan Pengasuh Makna Lambang Sejarah Pesantren Visi & Misi Pengasuh Struktur Jadwal Kegiatan Mars Bahrul Ulum Denah Opini Pendaftaran Santri Baru Brosur Biaya Pendaftaran Pengumuman Statistik Santri Foto Video Kontak Ketentuan Pembayaran
Ubudiyah

Mengenal Macam-Macam Darah Kewanitaan Perspektif Fiqh

Mengenal Macam-Macam Darah Kewanitaan Perspektif Fiqh
Mengenal Macam-Macam Darah Kewanitaan Perspektif Fiqh

Oleh : Ilham Ula Aghna

Bahrul Ulum - Sudah menjadi kodrat bagi setiap wanita dewasa sebagai anugrah dari Allah Swt, Setiap wanita akan mengeluarkan darah dari kemaluannya, ketika mestruasi, sedang melahirkan dan sesudah melahirkan.

Hal tersebut, menjadi perhatian bagi para ulama ahli fiqh untuk mengkaji secara detail tentang jenis, masa, dan ketentuan hukum dari darah kewanitaan yang keluar dari kemaluannya. Dari kajiaannya, mereka menyimpulkan bahwa ada 3 jenis darah yang keluar dari kemaluan wanita yang disebut dengan darah haid, darah nifas, dan darah istihadhoh. Ketiga jenis darah tersebut ada masa dan ketentuan hukum tersendiri.

Sehingga, mengetahui dan memahami perihal ini menjadi sangatlah penting bagi wanita dan juga bagi laki laki, sebagaimana keterangan dalam kitab Mughni al-Muhtaj yang menjelaskan bahwa:

‌يَجِبُ عَلَى الْمَرْأَةِ تَعَلُّمُ مَا تَحْتَاجُ إلَيْهِ مِنْ أَحْكَامِ الْحَيْضِ وَالِاسْتِحَاضَةِ وَالنِّفَاسِ فَإِنْ ‌كَانَ ‌زَوْجُهَا ‌عَالِمًا ‌لَزِمَهُ ‌تَعْلِيمُهَا، وَإِلَّا فَلَهَا الْخُرُوجُ لِسُؤَالِ الْعُلَمَاءِ بَلْ يَجِبُ، وَيَحْرُمُ عَلَيْهِ مَنْعُهَا إلَّا أَنْ يَسْأَلَ هُوَ وَيُخْبِرَهَا فَتَسْتَغْنِيَ بِذَلِكَ

“Hukumnya wajib bagi seorang perempuan mengkaji sesuatu yang ia butuhkan dari hukum hukum haid, istihadhah dan nifas. Apabila suaminya memahami, maka wajib bagi seorang suami untuk mengajari kepada istrinya, dan apabila seorang suami tidak memahami perihal tersebut, maka boleh, bahkan wajib bagi seorang istri keluar rumahnya untuk mempertanyakan untuk keperluan bertanya kepada seorang yang memahmi. Dan hukumnya haram bagi suami yang melarang istrinya keluar dari rumahnya untuk kepertulan tersebut, kecuali suaminya akan bertanya kepada ulama, kemudian mengajarkan hukum - hukum itu kepada sang istri.”[1]

Alhasil, dari keterangan diatas menjadi sangatlah penting untuk diketahui dan dipahami karena dalam melakukan peribadahan, salah satu syarat sahnya adalah suci dari hadats kecil dan hadats besar, oleh karena itu, penulis pada bagian ini akan menjelaskan tentang pengertian beserta dalil dari masing masing 3 jenis darah yang keluar dari kemaluanya perempuan.

HAID

Secara umum, penyebutan darah yang keluar dari pangkal rahim wanita adalah haid, akan tetapi ada beberapa penamaan selain nama haid, yaitu:

‌وَلَهُ ‌عَشَرَةُ ‌أَسْمَاءٍ: ‌حَيْضٌ، وَطَمْثٌ بِالْمُثَلَّثَةِ، وَضَحِكٌ، وَإِكْبَارٌ وَإِعْصَارٌ، وَدِرَاسٌ، وَعِرَاكٌ بِالْعَيْنِ الْمُهْمَلَةِ، وَفِرَاكٌ بِالْفَاءِ، وَطَمْسٌ بِالسِّينِ الْمُهْمَلَةِ، وَنِفَاسٌ

“Ada sepuluh penamaanya, yaitu haid, tamts, dohik, ibkar, i’shor, diras, ‘i rak, firak, toms, nifas”[2]

Haid secara etimologi ialah mengalir, sedangkan secara terminologi ialah darah normal yang keluar dari pangkal rahim wanita ketika keadaan sehat, terjadi tanpa ada sebab khusus, seperti sakit atau melahirkan pada waktu tertentu.

Dasar haid terdapat pada Al-Qur’an di dalam Surat Al-Baqarah ayat 222,

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

 Artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” [3]

Penurunan ayat ini, merepos atas kejadian yang dilakukan oleh kaum Yahudi terhadap wanitanya yang sedang mengalami haid, mereka akan mengusirnya, tidak mau tinggal satu rumah dan enggan makan, minum bersama-sama seakan - akan wanita ketika haid adalah manusia yang menjijikan,dan juga menjelaskan bahwa haid memang darah kotor sehingga dilarang bagi suami untuk melakukan hubungan badan dengannya selama ia haid sampai datang masa suci,

Sedangkan dasar hadits Nabi Saw mengenai haid banyak sekali, salah satunya hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Syayidah ِ Aisyah r.a, beliau berkata:

‌هَذَا ‌شَيْءٌ ‌كَتَبَهُ ‌اللَّهُ ‌عَلَى ‌بَنَاتِ ‌آدَمَ (رواه بخاري)

“Sesungguhnya ini (haid) adalah sesuatu yang ditetapkan kepada anak - anak wanita Adam”[4]

Hadits ini menjelaskan tentang ketetapan Allah Swt kepada keturunan Nabi Adam a.s sebagai ujian. Artinya disaat Allah Swt menetepkan sesuatu maka manusia sebagai hamba harus menerimanya dengan kepasrahan dan dijalankan dengan rasa ketaqwaan kepadaNya.

 

NIFAS

Nifas secara etimologi adalah melahirkan. Sedangkan menurut terminologi nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita setelah melahirkan. Disebut nifas karena darah tersebut keluar setelah nafs (jiwa, yakni anaknya), dan bagi wanita yang sedang mengalami nifas secara fikih disebut nufasa’.

Darah tersebut tetap disebut darah nifas walaupun yang keluar dari rahim hanyalah segumpal darah ataupun segumpal daging yang diakui oleh ahli sebagai asal janin. Perlu diketahui bahwa permulaan hitungan darah nifah dimulai dari keluarnya darah, bukan dari keluarnya anak. Apabila ada jeda selama 15 sehari semalam sejak kelahiran hingga keluarnya darah, berarti darah yang keluar tersebut bukan darah nifas akan tetapi darah haid.

Dasar nifas terdapat pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah, yaitu :

كَانَتِ النُّفَسَاءُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‌تَقْعُدُ ‌بَعْدَ ‌نِفَاسِهَا ‌أَرْبَعِينَ ‌يَوْمًا أَوْ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ( رواه أبو داود والترمذى)

“Wanita - Wanita nifas pada masa Rasullah Saw, duduk  selama 40 hari atau 40 malam,” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)[5]

Dalam hadits tersebut di jelaskan bahwa durasi nifas pada umumnya 40 hari, adapun durasi minimal nifas hanya sebentar dan durasi terlama adalah 60 hari. Pembahasan mentedetail masalah imi, insyaalloh akan di sajikan pada bagian selanjutnya.

 

ISTIHADLAH

Istihadlah disebut juga darah penyakit, secara etimologi adalah mengalir. Sedangkan secara terminologi adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita pada selain waktunya darah haid atau darah nifas. Seseorang wanita yang sedang mengalami istihadlah didalam kajian fiqih disebut dengan mustahadhah.

Dasar istihadhah terdapat pada hadits yang diriwayatkan dari Syayidah Fatimah binti Abi Hubaisy r.a, bahwa beliau pernah mengalami istihadhah, kemudian Nabi Saw bersabda kepadanya:

‌إِذَا ‌كَانَ ‌دَمُ ‌الْحَيْضِ فَإِنَّهُ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ، فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِي عَنِ الصَّلَاةِ ، وَإِذَا كَانَ الْآخَرُ فَتَوَضَّئِي وَصَلِّي فَإِنَّمَا هُوَ ‌عِرْقٌ

“Apabila darah haid, maka itu adalah darah hitam yang sudah dikenali. Jika ini terjadi, maka jangan salat. Apabila sifatnya berbeda dengan haid, maka berwudhulah dan salat, karena sesungguhnya itu adalah luka pembuluh darah.”[6]

 

Hadits tersbut menjelaskan tentang perbedaan antara darah haid dan darah istidlah berdasarkan sifat darah yang keluar. Terjadi perbedaan sifat darah antara haid dan nifar disebabkan darah istihadlah keluar dari pembuluh darah, sedanga darah haid keluar dari pangkal dalam rahim.

Wallahu‘alam

 

[1] Syamsuddin Muhammad bin Muhammad al-Khathib al-Syarbiniy, Mughni al-Muhtaj ila Ma'rifah Ma'ani Alfaz al-Minhaj, (Bairut : Dar Kutub al-Ilmiyah, 1994), I/296

[2] Ibid, 277

[3] Al-Qur’an, 1:222.

[4] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari al-Ju'fi, Shahih Bukhari, (Bairut : Dar Thauq Najah, 1893), I/66.

[5] Abu Dawud Sulaiman Sulaiman bin al-Asy'aṡ al-Azdi As-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Kairo : Dar al-Risalah al-Alamiyah, 2009), I/229.

[6] Abu al-Hasan Ali bin Umar bin Ahmad bin Mahdi bin Mas'ud bin an-Nu'man bin Dinar al-Baghdadi ad-Daruquthni, Sunan Daruquthni, (Bairut : Muassasah ar-Risalah, 2004), I/383.