Kelahiran Nabi Muhammad (Bagian 1)
Pencarian Sumur Zamzam dan Nadzar Abdul Muthallib
Selama beberapa waktu sejak zaman Nabi Ibrahim AS, Makkah dipegang oleh beberpa kabilah secara bergantian. Ketika zaman Abdul Muthallib, Makkkah dipegang oleh Suku Quraisy dan Abdul Muthallib adalah salah satu pemuka sukunya. Tugas seorang pemuka suku, Abdul Muthaallib mempunyai tugas yang tidak ringan, yakni menyediakan air minum bagi para peziarah yang berkunjung ke baitullah, ritual ini lebih dikenal dengan sebutan siqaya. Dari tahun ke tahun, jumlah peziarah yang datang ke baitullah terus meningkat akan tetapi sumber air di Makkah tidak mengalami peningkatan. Hal ini menyebaabkan munculnya kekhawatiran yang cukup serius bagi Abdul Muthallib.
Satu-satunya sumur yang dapat diandalkan adalah Sumur Zamzam yang airnya tidak pernah keing, akan tetapi sumur tersebut telah ditimbun oleh Suku Jurhum. Suku Khuza’ah yang telah berhasil mengusir suku jurhum tidak tertarik untuk mencarinya karena mereka telah menggali sumur sumur yang lain di sekitar Makkah.. Dengan di bantu oleh Al-Haris Abdul Muthallib mencari Sumur Zamzam. Dan menemukan pertanda bahwa Sumur Zamzam ada di antara tempat berdirinya Berhala Ishaf dan Na’ilah. Tempat tersebut adalah tempat penyembelihan hewan qurban bagi dua berhala dan merupakan tempat yang di anggap suci kaum Quraisy. Kaum Quraisy pun segera berkumpul di tempat penggalian tersebut dengan perasaan tidak terima.
Untuk meyakinkan kaumnya, Abdul Muthallib pun bersumpah, jika ia mempunyai sepuluh anak laki-laki maka ia akan mengorbankan salah satunya. Sumpah tersebut menegaskan bahwa Abdul Muthallib sungguh-sungguh dalam pekerjaannya dalam mencari Sumur Zamzam dan bukan untuk melecehkan tempat penyembelihan qurbah tersebut. Penggalian Sumur Zamzam akhirnya dapat dimulai. Selain menemukan Sumur Zamzam, Abdul Muthallin juga menemukan harta peninggalan Suku Jurhum berupa dua patung emas dan berbagai peralatan perang. Orang-orang yang berkumpul di tempat penggalian tersebut merasa berhak atas kepemilikan harta tersebut dan membuat keadaaan menjadi ricuh, menanggapi hal tersebut, Abdul Muthallib mengambil keputusan bijak dengan memutuskan bahwa harta kekayaan Kabilah Jurhum berupa duaa petung emas dan berbagai jenis peralatan perang tersebut akan diundi. 6 buah bejana disiapkan untuk mengundi dan menentukan kepemilikan dari harta tersebut. Keputusan dari undian tersebut adalah dua patung emas menjadi milik Ka’bah dan alat-alat perang menjadi milik Abdul Muthallib.
Pengorbanan Abdullah
Bertahun tahun setelah nadzar tersebut, Abdul Muthallib mempunyai sepuluh anak laki-laki dan enam anak perempuan, maka menjadi wajiblah nadzar yang di ucapkan Abdul Muthallib saat menggali Sumur Zamzam. Berkumpulah Abdul Mutallib dan para putranya sambil di saksikan oleh penduduk kota Makkah untuk melakukan pengundian di bawah ka’bah dan menentukan siapa yang akan diqurbankan. Undian telah dijalankan dan keluarlah nama Abdullah untuk diqurbankan. Abdullah adalah putra Abdul Muthallib yang sangat disayanginya. Tampaklah sudah kesedihan yang luar biasa di wajah pemuka Quraisy tersebut. Ketika Abdul Muthalib hendak menyembelih Abdullah sebagai pemenuhan atas nadzarnya, orang-orang Quraisy memintanya untuk mencari jalan lain agar penyembelihan tersebut tidak terjadi. Setelah bertanya dan meminta solusi maka diputuskan untuk mengundi antara Abdullah dengan denda pembunuhan di Makkah yakni sepuluh ekor unta. Jikalau undian masih menunjukkan anama Abdullah maka denda unta tersebut ditambah sampai undian jatuh ke unta tersebut. Tatkala diundi, nama Abdullahlah yang keluar sampaai sepuluh kali, baru akhirnya undian jatuh kepada unta yang telah mencapai seratus ekor tersebut. Dengan demikian maka selamatlah Abdullah ayah dari Nabi Muhammad SAW.
Pernikahan Abdullah dan Aminah
Beberapa saat setelah kajadian pengorbanan tersebut, terbesit keinginan di hati Abdul Muthallib untuk menikahkan Abdullah. Suatu pantangan bagi keluarga Abdul Muthallib untuk menikah dengan garis keturunan orang yang pernah melakukan zina. Maka Abdul Muthallib mencari calon terbaik untuk putranya Abdullah. Keputusannya pun jatuh kepada Aminah putri dari pemimpin Kabilah Zuhroh yang bernama Wahab bin Abdul manaf bin Zuhroh. Abdul muthallib tidak hanya melayangkan satu lamaran, ia juga melamar Halah sepupuh dari Aminah untuk dirinya. Sampailah hari dimana Abdullah dan Abdul Muthallib berjalan menuju rumah mempelai wanita dengan disaksikan oleh ramainya penduduk Makkah, akan tetapi ketika rombongan mereka sampai di jalan dekat Ka’bah, mereka bertemu dengan Lailah Al-Adawiyyah saudara perempuan dari Waraqah yang beragama Nashrani. Di kalangan Nashrani, telah masyhur berita tentang akan datangnya Nabi akhir zaman, dan tatkala Laila melihat Abdullah lewat, ia melihat sebuah cahaaya di wajah dari Abdullah dan ia berpikir bahwa inilah tanda ayah dari Nabi akhir zaman yang di telah masyhur kedatangannya di aantaraa kaum Nashrani. Laila segera menghadang Abdullah dan menawarkan diri untuk diperistri Abdullah bahkan memberi hadiah 100 ekor unta. Abdullah pun menolak tawaran tersebut dengan halus.
“aku selalu mengikuti kehendak ayahku dan aku tak akan pernah meninggalkannya,” jawab Abdullah.
Sebelum sampai di rumah Aminah, Abdullah kembali dihadang oleh wanita lain, Fathimah binti Murr Al-Kha’tsamiyyah, seorang peramal wanita yang beragama Yahudi dan tekun mempelajari kitab Taurat. Ia juga melihat cahaya kenabian di wajah Abdullah dan menginginkannya, maka ia menghampiri Abdullah seraya berkata,
“Wahai pemuda, maukah engkau sekarang bersetubuh denganku? Aku akan memberimu seratus ekor unta jika kamu mau melakukannya.”
Mendengar hal tersebut, Abdullah menjawab dengan sedikit ketus.
“Segala sesuatu yang diharamkan, aku bersedia mati untuk menjauhinya. Sedangkan yang telah dihalalkan maka aku harus mengetahui lebih jelas tentangnya. Bagaimana aku akan memenuhi permintaanmu yang tercela itu padahal orang yang mulia akan menjaga harga diri dan agamaanyaa.”
Begitulah sikap beberapa wanita yang mengetahui keutamaan dari Abdullah, terlepas dari hal tersebut, sesampainya di rumah Aminah, Abdullah pun mengucapkan akad nikah di hadapan Wahab di usianya yang ke delapan belas tahun. Sesuai adat kaum Quraisy, setelah akad Abdulah bermalam di rumah mempelai wanita selama tiga hari. Menjelang hari ke empat, barulah Aminah diboyong oleh Abdullah menuju bahtera rumah tangga baarunya.
والله أعلم بالصواب