Home Berita Batsul Masail Kisah Inspiratif Sejarah Ruang Santri Tanya Jawab Tokoh Aswaja Dunia Islam Khutbah Amalan & Doa Ubudiyah Sambutan Pengasuh Makna Lambang Sejarah Pesantren Visi & Misi Pengasuh Struktur Jadwal Kegiatan Mars Bahrul Ulum Denah Opini Pendaftaran Santri Baru Brosur Biaya Pendaftaran Pengumuman Statistik Santri Foto Video Kontak Ketentuan Pembayaran
Kisah Inspiratif

Membumikan Sabda: Rasulullah SAW, Sang Teladan Hidup dan Pendidik Karakter

Ilustrasi gambar
Ilustrasi gambar

Rasulullah Muhammad SAW. Adalah sosok yang multidimensi. Bukan sekadar utusan Allah, tetapi juga seorang guru, ayah, pemimpin, dan uswah hasanah (suri teladan terbaik) bagi seluruh umat manusia. Seluruh perkataan, perbuatan, dan tingkah laku beliau adalah kurikulum hidup yang tak ternilai. Hal ini sejalan dengan sabda beliau:

 

إنما ‌بُعثت ‌لأتمم مكارم الأخلاق

Artinya: sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.

 

Tujuan mulia ini diemban dengan metodologi pengajaran yang mendalam dan penuh hikmah. Para ulama akhlak dan sejarah merumuskan. Dalah satu metode pengajaran Nabi dalam mendidik sahabatnya adalah Metode Teladan dan Panutan. Ini adalah inti dari keberhasilan pendidikan karakter Rasulullah SAW. Dan kisah Anas bin Malik, pelayan beliau, adalah cermin nyata dari keagungan metode tersebut.

 

Kisah Kasih Sayang Sang Guru kepada Anas bin Malik

Anas bin Malik kecil adalah anak yang melayani Rasulullah SAW. Suatu ketika, Anas diminta oleh Rasulullah SAW untuk suatu keperluan. Dalam hati, Anas sebenarnya ingin melaksanakan perintah itu, namun lisan kecilnya justru menolak:

 

"Demi Allah, aku tidak akan pergi (mengerjakan perintahnya). Padahal diriku sebenarnya ingin pergi melaksanakan apa yang diperintahkan Nabi Allah SAW kepadaku.”

 

Reaksi spontan dari seorang anak kecil ini tidak lantas disambut dengan kemarahan atau teguran keras dari Rasulullah SAW. Beliau membiarkan hal itu berlalu.

 

Di lain kesempatan, Anas sedang berjalan-jalan dan mendapati sekumpulan anak-anak bermain di pasar. Tiba-tiba, Rasulullah SAW datang. Beliau tidak marah, tidak pula mengungkit penolakan Anas sebelumnya. Justru, beliau memegang tengkuk Anas dengan penuh kehangatan, tertawa lepas, lalu berkata:

 

“Wahai Anas, pergilah sebagaimana yang kuperintahkan padamu (tadi).”

 

Mendengar dawuh (perintah) yang disampaikan dengan pendekatan yang begitu lembut, hati Anas pun luluh, dan ia pun menjawab: “Baik, Aku akan pergi (melaksanakannya), ya Rasulullah.”

 

Pelajaran dari Madrasah Nabi

Dari kisah ini, kita melihat betapa hati-hatinya Rasulullah SAW dalam mendidik. Beliau tidak ingin Anas kecil merasa tertekan, tersinggung, atau malu di depan teman-temannya. Beliau memilih pendekatan yang baik, penuh kasih sayang, dan disampaikan di momen yang tepat, dengan senyum dan tawa yang menyejukkan. Ini adalah pendekatan pendidikan yang menitikberatkan pada pembangunan hubungan dan mental yang sehat.

 

Kesaksian Anas bin Malik lebih lanjut menguatkan metode pengajaran yang mulia ini:

 

“Demi Allah, sudah tujuh atau sembilan tahun aku mengabdi kepadanya, aku tidak pernah (mendengarnya mengomentari) kesalahan yang kulakukan dalam mengerjakan sesuatu dengan berkata: ‘Kenapa kau melakukannya begini dan begini,’ atau mengomentari (kelalaianku) melakukan sesuatu dengan berkata: ‘Kenapa kau tidak melakukan ini dan ini’.”

 

Selama bertahun-tahun mengabdi, Nabi Muhammad SAW tidak pernah mengungkit kesalahan yang dilakukan Anas, apalagi mengomentarinya dengan ungkapan yang menyakitkan atau merendahkan. Beliau fokus pada pendidikan karakter melalui teladan, penerimaan, dan koreksi yang konstruktif tanpa menjatuhkan.

 

Kisah ini adalah pengingat berharga, khususnya bagi para pendidik, orang tua, dan pemimpin, bahwa pendidikan karakter yang sejati harus didasarkan pada cinta, kesabaran, dan teladan yang hidup. Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita bahwa menegakkan kedisiplinan tidak harus dibarengi dengan kekerasan atau celaan yang menyakitkan. Pendekatan yang baik, hati-hati, dan penuh kasih justru menumbuhkan ketaatan yang lahir dari rasa hormat dan cinta, bukan ketakutan.

 

Oleh: Abdullah Machbub