Home Berita Batsul Masail Kisah Inspiratif Sejarah Ruang Santri Tanya Jawab Tokoh Aswaja Dunia Islam Khutbah Amalan & Doa Ubudiyah Sambutan Pengasuh Makna Lambang Sejarah Pesantren Visi & Misi Pengasuh Struktur Jadwal Kegiatan Mars Bahrul Ulum Denah Opini Pendaftaran Santri Baru Brosur Biaya Pendaftaran Pengumuman Statistik Santri Foto Video Kontak Ketentuan Pembayaran
Sejarah

Transformasi pendidikan Pesantren: Dari Sorogan Menjadi Kurikulum Pembelajaran

Foto KH Anshori Sehah
Foto KH Anshori Sehah

BAHRULULUM.ID - Dewasa ini, Bahrul Ulum telah mencapai usia ke-200 tahunnya. Sudah 2 abad lamanya Bahrul Ulum mengabdi kepada masyarakat, melahirkan santri-santri penegak agama islam, dan juga berperan penting dalam kemajuan pendidikan pesantren salafus sholih secara inklusif.

Eksistensi Bahrul Ulum masih bertahan sejak 1825 M sampai sekarang. Dalam kurun waktu tersebut, pastilah terdapat perbedaan-perbedaan atau transformasi, entah itu dari segi budaya kepesantrenannya, pendidikan, maupun dalam segi infrastrukturnya. Meski demikian, tetap ada nilai-nilai yang tetap dipertahankan.

Menurut KH. Anshori, metode pembelajaran pertama kali yang digunakan di pesantren adalah sorogan, yakni guru mendengarkan cara murid membaca dan menerangkan dan bandongan, dimana guru yang membacakan dan murid mendengarkan. Dalam ilmu mustholah hadits, metode ini diimplementasikan dalam bentuk as-sama’ atau guru membacakan sedangkan murid mendengarkan dan metode al-qiro’ah yang konseopnya murid membaca sedangkan guru mengoreksi. Saat ini, metode sorogan masih menjadi pendekatan utama dalam banyak pesantren.

Metode ini terus dipertahankan di pondok pesantren, sehingga para kiai sepuh sangat menghargai dan   mementingkannya serta cenderung menolak metode pengajaran lain. Namun, muncul tokoh-tokoh pembaharu yang berusaha memperkenalkan inovasi dalam sistem pengajaran pesantren, salah satunya adalah Mbah Wahab.

Perjuangan Mbah Wahab dalam Menerapkan Metode Baru

Mbah Wahab merupakan contoh kiai muda (gus) yang menginisiasi perubahan metode pengajaran. Beliau mulai mengajar menggunakan papan tulis (bor dalam bahasa Jawa) di serambi Masjid Tambakberas. Namun, inovasi ini mendapat kritik tajam dari ayahandanya, Mbah Hasbullah, yang mengatakan, "Ngaji nganggo bor, alamat bubar" (mengaji menggunakan papan tulis akan menyebabkan pembelajaran bubar). Meskipun demikian, Mbah Wahab tidak menyerah dan terus meyakinkan ayahnya mengenai efektivitas metode tersebut.

Kisah penolakan terhadap metode baru ini juga terjadi di Pondok Pesantren Tebuireng. Mbah Hasyim Asy’ari awalnya menolak metode pengajaran yang diperkenalkan oleh santrinya, Mbah Ma’shum Aly—pengarang kitab Al-Amtsilah At-Tashrifiyah. Mbah Ma’shum menggunakan papan tulis sebagai media pengajaran, sehingga beliau harus memindahkan kelasnya dari pondok ke mushala desa.

Namun, setelah beberapa waktu, Mbah Hasyim terkejut dengan kemampuan santri-santri muda yang sudah mampu membaca dan menulis Arab. Pada masa itu, biasanya santri baru bisa membaca dan menulis di usia sekitar 20 tahun ke atas. Mbah Hasyim pun mengakui keunggulan metode yang diterapkan Mbah Ma’shum, seraya berujar,

"Kok iso arek cilik-cilik iki podo iso moco lan nulis?" (Kok bisa anak-anak ini sudah mahir membaca dan menulis?). Akhirnya, beliau mengapresiasi serta menerima metode tersebut.

Pendirian Madrasah sebagai Inovasi Pendidikan

Setelah menghadapi berbagai tantangan, Mbah Wahab akhirnya memindahkan tempat mengajarnya dan mendirikan madrasah pertama di Tambakberas, yaitu Madrasah Mubdil Fan. Madrasah ini merupakan lembaga pendidikan formal yang mengajarkan ilmu sharaf, nahwu, dan kitab fikih. Kegigihan Mbah Wahab dalam menerapkan sistem madrasah akhirnya meluluhkan hati Mbah Hasbullah. Setelah melakukan istikharah, beliau memberikan restu terhadap sistem madrasah dan bahkan membangunkan tiga ruang kelas baru di sebelah masjid, agar Mbah Wahab kembali mengajar di lingkungan pesantren Tambakberas.

Madrasah ini terus berkembang hingga akhirnya menjadi Madrasah Mu’allimin Mu’allimat, yang diinisiasi oleh KH. Abdul Fattah Hasyim. Namun, muncul perbedaan pendapat di kalangan pengasuh mengenai tawaran pemerintah untuk menjadikan madrasah ini sebagai madrasah negeri. Setelah melalui diskusi panjang, akhirnya madrasah ini diserahkan kepada pemerintah, tetapi konsekuensinya adalah hilangnya kurikulum pesantren karena harus mengikuti standar pendidikan nasional.

Menyadari hal ini, Mbah Fattah kemudian mendirikan kembali Madrasah Mu’allimin Mu’allimat yang tidak terikat dengan pemerintah, agar kurikulum pesantren tetap lestari. Sementara itu, madrasah yang telah dinasionalisasi berkembang menjadi MTs AIN dan MA AIN, yang kini dikenal sebagai MTsN dan MAN Tambakberas. Keberadaan institusi-institusi ini memperkaya sistem pendidikan di Tambakberas, yang kini mencakup pendidikan pesantren dan pendidikan formal berbasis kepesantrenan.

Evolusi Pendidikan Pesantren

Perubahan model pendidikan ini menunjukkan keterbukaan Bahrul Ulum dalam menerima inovasi sebagai terobosan bagi institusi pendidikan. Prinsip yang dipegang adalah al-muhafadhotu ‘ala al-qodim ash-sholih wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah—mempertahankan yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik. Hingga kini, Bahrul Ulum memiliki berbagai lembaga pendidikan dengan spesifikasi keilmuan yang beragam.

Para kiai terdahulu sangat menjaga tradisi yang dianggap baik, tetapi hal ini sering kali membuat inovasi baru terhambat dan kurang mendapat perhatian. Metode pengajaran yang mengadopsi sistem para ulama, sahabat, dan tabi’in seperti sama’ dan qiroah—yang lebih dikenal sebagai wethonan atau bandongan dan sorogan—memang sangat baik, tetapi masih memiliki keterbatasan. Oleh karena itu, penggunaan papan tulis dan media lainnya menjadi solusi untuk memperbaiki sistem pembelajaran.

Saat ini, pesantren semakin sistematis dalam menyusun metode pengajaran. Contohnya adalah metode Al-Miftah dan Amtsilati, yang memungkinkan anak-anak kecil sekalipun untuk membaca kitab sejak usia dini. Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, dunia pendidikan, termasuk pesantren, terus berevolusi agar tetap relevan dalam mencetak generasi yang berilmu dan berakhlak.

Oleh : Ahmad Bukhori Labib

Narasumber : KH Anshori Sehah