Bolehkah Berpuasa Setelah Nisfu Sya’ban?
Oleh : Ilham Ula Aghna
Bahrul Ulum - Bulan sya’ban menjadi salah satu diantara bulan yang di muliakan oleh Allah Swt. Kemuliaan ini, karena di dalam bulan tersebut, seorang hamba melaksanakan ibadah akan mendapaktkan pahala yang dilipat gandakan oleh Allah Swt. Demikian pula, ketika melakukan kemasiaatan, dosa yang diperoleh akan lebih besar, bila dilakukan pada bulan tersebut.
Maka dari itu, Nabi SAW meningkatkan ibadahnya dengan memperbanyak puasa di bulan Sya'ban. Dalam salah satu hadits tersebut, riwayat dari Aisyah R.A berkata:
وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺاسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW melakukan puasa satu bulan penuh kecuali puasa bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau lebih banyak berpuasa sunah melebihi (puasa sunah) di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)[1]
Secara ketentuan menjalankan puasa pada bulan sya’ban hukumnya sunnah. Sebagaimana penjelasan Dr. Wahbah al-Zuhaili:
وَيُسَنُّ صَوْمُ الْأَشْهَرِ الْحَرَمِ وَهِيَ ذُوْ الْقَعْدَةِ, وَذُوْ الْحِجَّةِ, واْلمُحَرَّمُ, وَرَجَبٌ, فَهِيَ أَفْضَلُ الشُّهُوْرِ لِلصَّوْمِ بَعْدَ رَمَضَانَ, وَكَذَا صَوْمُ شَعْبَانَ.
“Disunnahkan berpuasa pada ashurur hurum yaitu, dzulqo’dah, dzulhijjah, muharrom dan rajab. Bulan tersebut merupakan lebih baik – baiknya bulan setelahnya bulan ramadhan untuk melaksanakan puasa, begitupun juga sunnah berpuasa pada bulan sya’ban,”[2]
Namun, hingga saat ini masih sering muncul pertanyaan terkait hukum puasa setelah nisfu sya’ban. Alasannya, karena terdapat sebuah hadits dari Abu Hurairah R.A, menyebutkan bahwa tidak boleh berpuasa setelah memasuki pertengahan bulan Sya'ban,
إذا كانَ النِّصْفُ مِن شَعْبانَ فَلا صَوْمَ حَتّى يَجِيءَ رَمَضانُ (رواه إبن ماجه)
"Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, maka tidak ada puasa sampai datang bulan Ramadhan.” (HR. Ibnu Majah( [3]
Lantas bagaimana hukum puasa setelah nisfu sya’ban?
Mengenai hal ini, para ulama kalangan syafi’iyyah berbeda pendapat, seperti keterangan dalam sebuah kitab al fiqhu al manhaji ala madzahabi al imami as syafi’i, halaman 104, juz 2 menjelaskan bahwa keharaman puasa setelah nisfu sya’ban dalam hadits tersebut, mengecualikan bagi seseorang yang sudah beristiqomah mengerjakan puasa senin dan kamis atau puasa tersebut disambung dengan puasa sebelumnya,
لكن تنتفي حرمة صوم يوم الشك، والنصف الثاني من شعبان إذا وافق عادة للصائم، أو وصل صيامه بما قبل النصف الثاني من شعبان.
“Tetapi keharaman puasa hari sya’ dan puasa setelah nisfu sya’ban, mengecualikan ketika puasa tersebut bertepatan dengan seseorang yang sudah melanggengkan berpuasa, atau puasa tersebut disambung dengan puasa sebelumnya”.[4]
Selaras dengan penjelasan dalam kitab ta’riratus syadidah fi al masaaili al mufidah halaman 437 tentang persoalan tersebut,
مَتَى يَجُوْزُ صَوْمُ يَوْمِ الشَّكِّ أَو النِّصْفِ الْأَخِيْرِ مِنْ شَعْبَانَ ؟ يَجُوْزُ صَوْمُهُمَا فِي ثَلَاثِ حَالَاتٍ : إِذَا كَانَ الصَّوْمُ وَاجِبًا, كَقَضَاءٍ, أَوْ كَفَّارَةٍ أَوْ نَذْرٍ. إِذَا كَانَتْ لَهُ سُنَّةٌ مُعْتَادَةٌ (وِرْدٌ) كَصَوْمِ الْإِثْنَيْنِ وَالْخَمِيْسِ. إِذَا وَصَلَ النِّصْفَ الثَّانِي بِمَا قَبْلَهُ, بِأَنْ صَامَ يَوْمَ 15.
“kapan diperolehkan melaksanakan puasa pada hari sya’ atau puasa pada nisfu sya’ban? Diperbolehkan melaksanakan puasa pada hari keduanya tersebut, ketika 3 keadaan, yaitu ketika puasa tersebut wajib di lakukan, seperti puasa qodho, puasa kafarat, atau puasa nadzar, ketika puasa tersebut sudah menjadi adat kebiasaan, seperti puasa hari senin dan kamis, dan ketika puasa tersebut disambung dengan puasa sebelumnya, seperti seseorang sudah berpuasa pada hari 15.”[5]
Akan tetapi, sebagian ulama’ lain berpendapat bahwa melaksanakan puasa setelah nisfu sya’ban di berbolehkan secara mutlak, karena mereka menilai bahwa hadits larangan puasa setelah nisfu sya’ban, termasuk hadits dhoif bahkan sampai ke taraf hadits munkar, menurut keterangan pada halaman 363, juz 3 dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi, Syarah Jami’ Tirmidzi,
وَقَالَ جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ يَجُوزُ الصَّوْمُ تَطَوُّعًا بَعْدَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَضَعَّفُوا الْحَدِيثَ الْوَارِدَ فِيهِ وَقَالَ أَحْمد وبن مَعِينٍ إِنَّهُ مُنْكَرٌ
“Mayoritas ulama membolehkan puasa sunnah setelah nishfu Sya’ban dan mereka melemahkan hadis larangan puasa setelah nishfu Syaban. Imam Ahmad dan Ibnu Ma’in mengatakan hadis tersebut munkar”.[6]
Sebagaimana keterangan diatas, mengenai hukum puasa setelah nifshu sya’ban terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama dikarenakan dalam hadits larangan puasa setelah nisfu sya’ban di pahami dan dinilai berbeda, tetapi dalam satu sisi, mereka menyepakati kebolehan puasa sunnah bagi orang yang sudah menjadi kebiasaan, seperti senin sampai kamis, puasa daud, puasa dahr dan lain-lain. Puasa juga diperbolehkan bagi mereka yang ingin melaksanakan puasa kafarat, puasa qadha, dan juga mereka yang ingin melanjutkan puasa setelah setengah dari puasa Sya'ban.
wallahualam bish-shawab
[1] Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi, Shohih Muslim,(Bairut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arobi,1955), 2/810.
[2] Dr. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhu as-syafi’i al-Muyassar, I/369.
[3] Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majjah, (Dar al-Risalah al-Alamiyyah, 2009), 2/564.
[4] Dr. Mushtofa al-Khin dkk, Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzahibi al-Imam al-Syafi’I, (Damaskus, Dar al-Qolam li al-Thoba’ah, 1992), 2/104.
[5] Habib Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al-Kaf, at-Taqrirat as-Sadidah, (Surabaya : Dar Ulum al-Islamiyah, 2004), I/437.
[6] Abu al-A’la Muhammad Abdu al-Rahman bin Abdu al-Rohim al-Mubarokfuri, Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarhi Jami’ al-Tiemidzi, (Bairut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 2010), 3/363.