MI Tambakberas di Tahun 1945
BAHRULULUM.ID- Kiai Ma’shum lahir pada tahun 1923, beliau Mulai nyantri di Tambakberas ketika berusia 19 tahun, yakni pada zaman pendudukan Jepang. Kata beliau, ketika Jepang menjajah Indonesia, beberapa santri ada yang disuruh pulang oleh kiainya. Untuk kiai Ma’shum sendiri, disuruh pulang ke Ngawi dengan berjalan kaki menelusuri kereta api Jombang-Ngawi. Bisa dibayangkan susahnya sekaligus tangguhnya orang zaman dulu untuk mencari ilmu. setelah Jepang takluk ditangan sekutu, kiai ma’shum kembali ke Tambakberas, total mondoknya tiga tahun. Beliau masih menjumpai KH Hasyim Asy’ari, bahkan mengikuti ngaji pasan (mengaji kitab kuning saat Ramadhan) ke Tebuireng kepada Kiai Hasyim Asy’ari.
Terkait dengan madrasah di Tambakberas, Ma’shum remaja yang saat di pondok sering dipangil dengan sebutan ‘’kiai’’ oleh KH Fattah Hasyim ini mengaku bahwa sekolahnya adalah di Madrasah Islamiyyah Tambakberas yang dulu namanya masih MII (Madrasah Islamiyah Ibtidaiyah). Dengan demikian, madrasah ini berkali-kali ganti nama, mulai dari Mubdil Fan, MII, dan MWB (Madrasah Wajib Belajar). Tercatat juga pernah ada Madrasah Pantjha Sila Nahdlatul Ulama’ yang berletak di tempat yang sekarang menjadi kantor yayasan.
Pelajaran yang paling Kiai Ma’sum ingat adalah Bulughul Maram, Faraidh, Fathul Muin, Imrithi, dan Alfiyah. Penjelasan Kiai Ma’shum ini diperkuat oleh Mbah Fudholi Gudo, Jombang, yang merupakan lulusan Pondok Tambakberas sekitar tahun 1952-1956. Kiai Fudholi menjelaskan bahwa di kelas empat MI Tambakberas, siswa harus hafal 500 bait Alfiyah. Sedang kelas lima MI tambakberas harus Khatam Alfiyah, Faraid, dan Durusul Falakiyah. (studi ilmu Falak) dan ketika kelas enam pembelajaranya adalah balaghoh, mantiq, dan ushul fiqh.
Masih menurut Mbah Fudholi, lulusan MI Tebuireng, Peterongan, dan Gontor, kalau ingin masuk ke MI Tambakberas, hanya bisa dimasukkan di kelas tiga. Katanya, saat itu, ilmu agamanya Tambakberas paling tinggi. karenanya, KH Djamaludin Achmad mengatakan bahwa lulusan kelas enam MI Tambakberas bisa langsung kuliah. Hal ini terbukti dengan salah satu keluarga Kiai Djamaludin Achmad yang bernama Muhammad Suhad yang bisa langsung kuliah di Yogyakarta setelah lulus dari MI Tambakberas.
Bahkan, KH Mustain Romli Peterongan kaget melihat pelajaran yang tinggi di MI Tambakberas. Hal ini dikarenakan di kelas tiga MI Tambkaberas sudah diajarkan menghafalkan Imrithi, sedangkan di Peterongan sendiri Imrithi baru diajarkan di kelas enam.
Kiai Nashir Fattah menceritakan bahwa KH Mustai Romli pernah mengkritik hal ini kepada Kiai Fattah Hasyim karena pengajaran Imrithi di kelas tiga dirasa terlalu cepat. Menangapi hal ini, Kiai Fattah menjawab dengan gaya bercanda, ‘’Silahkan diadu saja kelas enam di Peterongan dengan kelas tiga di MI Tambakberas.’’ Jawaban Kiai Fattah ini bukan menunjukkan kesombongan, tetapi menunjukkan tingginya ilmu agama di Tambakberas saat itu.
Diambil dari buku Tambakberas “Menelisik Sejarah Memetik Uswah”. Ditulis oleh Gus ‘Ainur Rofiq al-Amin, ditulis ulang oleh Achmad Azzam Muzaki.